PENDAHULUAN
Hak untuk hidup tercantum sebagai salah satu hak
asasi pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 setelah amandemen.
Pasal 28A menegaskan bahwa “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Pasal 28B ayat (2) menyatakan “Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup
adalah satu dari tujuh hak asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai
hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable
rights).
Selaras dengan dasar negara Pancasila, maka dalam
negara Indonesia, manusia, siapapun dia, adalah mahluk yang hakekat dan
martabatnya harus dihormati.
Berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan, UUD 1945
setelah perubahan mengakui dan menghormati bahwa hak-hak asasi manusia bukanlah
pemberian negara tetapi melekat (inherent) dalam
keberadaan manusia. Di dalam UUD 1945 yang lama, hanya ada satu hak asasi yang
diakui sebagaimana tertera dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu hak tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan hak-hak lain, seperti kemerdekaan
berserikat dan berkumpul dan lain-lain, sebenarnya belum tergolong hak asasi
manusia, melainkan hak warga negara atau the
citizen’s constitutional rights. Hak demikian itu hanya ada bila
undang-undang menyatakannya ada.
PEMBAHASAN
Pengakuan hak untuk hidup itu amat sentral dalam
seluruh peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Keberadaan bangsa dan
negara pertama-tama harus mengakui harkat dan martabat keberadaan
manusia.
Prinsip rule
of law, yaitu sistem dan praktek pemerintahan wajib melindungi
warga dari kesewenangan kekuasaan dan melindungi warga dan hak-miliknya dari
kesewenangan sesama warga, merupakan konsekuensi dari pengakuan atas hak hidup,
mempertahankan kehidupan dan mengembangkan kehidupan. Tujuan bernegara yang
hendak dicapai juga adalah berintikan peningkatan kualitas hidup sebagai
penghormatan atas kehidupan manusia.
Hak asasi ini berhubungan langsung dengan masalah
aborsi, hukuman mati, eutanasia, membela diri, pembunuhan dan perang. Karena
hak hidup, termasuk hak untuk hidup dan berkembang, diakui, maka aborsi pada
dasarnya tidak dapat diizinkan. Hanya dalam keadaan yang sangat membahayakan
nyawa sang ibu, yang disimpulkan ahli yang kompeten, aborsi dapat dilakukan.
Bila
kita berbicara tentang hak asasi manusia tentunya harus dikaitkan dengan hak
hidup manusia sebagai hak yang paling mendasar. Hak itu bukan pemberian
penguasa negara ataupun manusia lainnya. Manusia tidak dapat menciptakan hidup
atau nyawanya sendiri melalui rekayasa teknologi kedokteran. Sang Khaliklah
(baca: Tuhan) yang memberi kita hidup dan nyawa. Dengan demikian hak itu dapat
kita katakan sebagai hak yang paling asasi dan mendasar yang dipunyai umat
manusia. Amerika Serikat pun sebagai negara adi daya yang mengagung-agungkan
hak asai manusia di dalam kenyataannya masih memberlakukan hukuman mati di
beberapa negara bagiannya bagi para pelaku kriminal.
Akan tetapi menjunjung tinggi hak hidup seorang
manusia tidaklah semudah yang kita bayangkan. Persoalan dilematis menghadang di
depan kita. Di satu pihak keinginan dan hasrat yang timbul dari hati nurani
untuk menghapus hukuman mati berhadapan dengan konsistensi menjunjung keadilan
yang seadil-adilnya di pihak lain. Keperkasaan pelembagaan keadilan telah
menenggelamkan keinginan dan hasrat tersebut. Manusia harus menerima
konsekuensi perkembangan peradabannya bila tidak ingin menapak mundur dari
modernisasi yang semakin menyusup ke segi kehidupannya.
Kita tidak menyadari atau mungkin sadar tetapi takut
berkata benar, bahwa konsepsi keadilan yang dipegang teguh selama ini tidaklah
seratus persen dapat kita realisasikan di dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Keadilan mempunyai batasannya tersendiri kala ia sudah mencapai titik di mana
keterlibatan manusia dipertanyakan. Simbol keadilan yang ditnjukkan dengan
sebuah timbangan yang seimbang ternyata bukanlah benda mati, karena Dewi Keadilan
tertutup matanya. Seimbang atu tidaknya timbangan keadilan ditentukan oleh para
pelakunya (manusia).
Konsep keadilan yang hakiki tidak dapat kita
ejawantahkan secara zhakelijk dan ajek ke dalam kehidupan nyata. Bila
hal itu terjadi, maka yang kemudian terjadi adalah penggerusan kemanusiawian
kita. Lembaga peradilan tidak lebih dari sekedar pelembagaan “balas dendam”.
Hutang nyawa dibayar dengan nyawa, dan hutang darah dibayar dengan darah.
Tugas lembaga peradilan bukan sekedar menyampaikan
pesan keadilan, tetapi juga semangat kemanusiaan dan ketuhanan manusia. Hukuman
yang mencabut hak seseorang atau hukuman mati tidak dapat kita bandingkan
dengan hukum, norma, dan nilai-nilai yang malah memiskinkan toleransi
kemanusiawian kita. Bahkan kalau kita menelaah lebih kritis lagi terlihat sikap
tidak adil di dalam lembaga peradilan. Hukuman mati sebagai konsepsi keadilan
yang hakiki dan dipegang teguh lembaga peradilan, tidak lagi bersangkutan
dengan masalah kehidupan. Dalam hal ini berarti kita telah memasuki alam
kehidupan dan kematian seseorang yang kekuasaan sepenuhnya dipegang Tuhan.
Akankah kita menurunkan dan membumikan kekuasaan Tuhan ke dalam realitas
kehidupan? Apakah kita lupa bahwa Yang Maha Adil adalah Tuhan sendiri? Apakah
mencabut dan menghilangkan hak hidup seseorang adalah jalan terkahir yang
dipunyai manusia? Apakah nyawa manusia sebanding dengan beberapa kilogram
narkokitka, ideologi politik atau nyawa yang sudah terlanjur tidak dapat
dihidupkan kembali?
Apakah dengan demikian timbangan keadilan kita
menjadi berat sebelah? Jawabnya adalah tidak. Timbangan yang berimbang adalah
tujuan yang ingin dicapai, dan ia bukan hasil yang harus kita laksanakan secara
murni. Tentu saja hal ini hanya berlaku untuk kasus hukuman mati. Menjadi tidak
manusiawilah kita apabila mempermainkan nyawa dan hidup-matinya seseorang di
dalam lambaga peradilan.
Bila
kita memang seorang yang taat ajaran agama dan religius, maka sudah menjadi
kewajiban kita melaksanakan ajaran-Nya. Di dalam ajaran semua agama di dunia
tidak ada satu pun yang membenarkan adanya pembunuhan dan pemusnahan semua
ciptaan Tuhan yang ada di bumi ini. Kita wajib melindungi dan menjaga seluruh
ciptaan-Nya, termasuk manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya.
Hal ini membuktikan secara eksplisit, bahwa ajaran
agama apapun tidak menyetujui adanya pencabutan hak hidup seseorang oleh suatu
hukum, norma dan nilai-nilai yang senantiasa melingkupi hidup manusia. Mereka
yang berhadapan dengan regu tembak, kursi listrik, kamar gas dan pelbagai bentuk
hukuman mati lainnya merupakan korban lembaga peradilan duniawi yang diciptakan
manusia sendiri.
Memang benar manusia adalah srigala bagi sesamanya (homo homini lupus) seperti yang dikatakan
filsuf Thomas Hobbes untuk menunjukkan agresiftitas manusia yang seringkali
melebihi binatang di dalam mempertahankan hidupnya disadari maupun tidak
disadarinya. Implikasinya adalah suatu tindakan yang wajar dan lumrah bagi
manusia. Tetapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa manusia adalah “binatang
rasional” (anima rationale). Rasio
itu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dengan rasio itu pula
seharusnya kita dapat menilai hidup dengan lebih bijaksana bila menghadapi
masalah kemanusiaan.
Banyak alternatif cara yang dapat ditempuh untuk
menggantikan hukuman mati. Gagasan untuk mengganti hukuman mati telah
banyak dilontarkan dan diajukan. Tapi yang paling utama adalah kesadaran para
terhukum serta pendidikan mental dan spiritual bagi mereka menjadi penting
artinya agar tidak lagi mengulangi perbuatan yang pernah dilakukannya.
Manusia adalah makhluk yang penuh dengan dinamika.
Ia dapat berubah karena suatu peristiwa penting dalam hidupnya. Tetapi ia dapat
pula menjadi keras kepala dengan apa yang dipercayainya. Dengan adanya pegangan
hidup yang kuat, manusia tidak akan mudah terusik keadaan yang bisa membuatnya
celaka dan menderita. Ia menjadi lebih realistis terhadap hidupnya tanpa perlu
mengganggu hak orang lain.
Seseorang
berhak membela diri untuk mempertahankan kehidupannya bila kehidupannya
terancam tetapi pembunuhan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang paling
fatal. Dengan pengakuan hak atas hidup, hukuman mati dalam sistim hukum kita
seharusnya tidak diberlakukan lagi. Meminta diakhiri atau mengakhiri hidup
(eutanasia), misalnya karena menderita penyakit yang tidak akan tersembuhkan
atau sekarat, juga tidak dapat diizinkan. Pembunuhan dan hukuman mati dalam
perang adalah kejahatan yang sering terjadi justru untuk melindungi manusia
lain dari pembunuhan. Pada dasarnya perang itu yang harus dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Tobing,
Jakob,
M.P.A. adalah Presiden Institut Leimena dan Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD
45 (1999-2004).
Alumnus FIB dan FH UI ( http://hukum.kompasiana.com/2011/09/02/hak-hidup-manusia-390958.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar