Senin, 01 April 2013

Hak Untuk Hidup Pasal 28 A


PENDAHULUAN

Hak untuk hidup tercantum sebagai salah satu hak asasi pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 setelah amandemen.
Pasal 28A menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Pasal 28B ayat (2) menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah satu dari tujuh hak asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).
Selaras dengan dasar negara Pancasila, maka dalam negara Indonesia, manusia, siapapun dia, adalah mahluk yang hakekat dan martabatnya harus dihormati.
Berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan, UUD 1945 setelah perubahan mengakui dan menghormati bahwa hak-hak asasi manusia bukanlah pemberian negara tetapi melekat (inherent) dalam keberadaan manusia. Di dalam UUD 1945 yang lama, hanya ada satu hak asasi yang diakui sebagaimana tertera dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu hak tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan hak-hak lain, seperti kemerdekaan berserikat dan berkumpul dan lain-lain, sebenarnya belum tergolong hak asasi manusia, melainkan hak warga negara atau the citizen’s constitutional rights. Hak demikian itu hanya ada bila undang-undang menyatakannya ada.

PEMBAHASAN
Pengakuan hak untuk hidup itu amat sentral dalam seluruh peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Keberadaan bangsa dan negara pertama-tama harus mengakui harkat dan martabat keberadaan manusia. 
Prinsip rule of law, yaitu sistem dan praktek pemerintahan wajib melindungi warga dari kesewenangan kekuasaan dan melindungi warga dan hak-miliknya dari kesewenangan sesama warga, merupakan konsekuensi dari pengakuan atas hak hidup, mempertahankan kehidupan dan mengembangkan kehidupan. Tujuan bernegara yang hendak dicapai juga adalah berintikan peningkatan kualitas hidup sebagai penghormatan atas kehidupan manusia.
Hak asasi ini berhubungan langsung dengan masalah aborsi, hukuman mati, eutanasia, membela diri, pembunuhan dan perang. Karena hak hidup, termasuk hak untuk hidup dan berkembang, diakui, maka aborsi pada dasarnya tidak dapat diizinkan. Hanya dalam keadaan yang sangat membahayakan nyawa sang ibu, yang disimpulkan ahli yang kompeten, aborsi dapat dilakukan.
Bila kita berbicara tentang hak asasi manusia tentunya harus dikaitkan dengan hak hidup manusia sebagai hak yang paling mendasar. Hak itu bukan pemberian penguasa negara ataupun manusia lainnya. Manusia tidak dapat menciptakan hidup atau nyawanya sendiri melalui rekayasa teknologi kedokteran. Sang Khaliklah (baca: Tuhan) yang memberi kita hidup dan nyawa. Dengan demikian hak itu dapat kita katakan sebagai hak yang paling asasi dan mendasar yang dipunyai umat manusia. Amerika Serikat pun sebagai negara adi daya yang mengagung-agungkan hak asai manusia di dalam kenyataannya masih memberlakukan hukuman mati di beberapa negara bagiannya bagi para pelaku kriminal.
Akan tetapi menjunjung tinggi hak hidup seorang manusia tidaklah semudah yang kita bayangkan. Persoalan dilematis menghadang di depan kita. Di satu pihak keinginan dan hasrat yang timbul dari hati nurani untuk menghapus hukuman mati berhadapan dengan konsistensi menjunjung keadilan yang seadil-adilnya di pihak lain. Keperkasaan pelembagaan keadilan telah menenggelamkan keinginan dan hasrat tersebut. Manusia harus menerima konsekuensi perkembangan peradabannya bila tidak ingin menapak mundur dari modernisasi yang semakin menyusup ke segi kehidupannya.
Kita tidak menyadari atau mungkin sadar tetapi takut berkata benar, bahwa konsepsi keadilan yang dipegang teguh selama ini tidaklah seratus persen dapat kita realisasikan di dalam kenyataan hidup sehari-hari. Keadilan mempunyai batasannya tersendiri kala ia sudah mencapai titik di mana keterlibatan manusia dipertanyakan. Simbol keadilan yang ditnjukkan dengan sebuah timbangan yang seimbang ternyata bukanlah benda mati, karena Dewi Keadilan tertutup matanya. Seimbang atu tidaknya timbangan keadilan ditentukan oleh para pelakunya (manusia).
Konsep keadilan yang hakiki tidak dapat kita ejawantahkan secara zhakelijk dan ajek ke dalam kehidupan nyata. Bila hal itu terjadi, maka yang kemudian terjadi adalah penggerusan kemanusiawian kita. Lembaga peradilan tidak lebih dari sekedar pelembagaan “balas dendam”. Hutang nyawa dibayar dengan nyawa, dan hutang darah dibayar dengan darah.
Tugas lembaga peradilan bukan sekedar menyampaikan pesan keadilan, tetapi juga semangat kemanusiaan dan ketuhanan manusia. Hukuman yang mencabut hak seseorang atau hukuman mati tidak dapat kita bandingkan dengan hukum, norma, dan nilai-nilai yang malah memiskinkan toleransi kemanusiawian kita. Bahkan kalau kita menelaah lebih kritis lagi terlihat sikap tidak adil di dalam lembaga peradilan. Hukuman mati sebagai konsepsi keadilan yang hakiki dan dipegang teguh lembaga peradilan, tidak lagi bersangkutan dengan masalah kehidupan. Dalam hal ini berarti kita telah memasuki alam kehidupan dan kematian seseorang yang kekuasaan sepenuhnya dipegang Tuhan. Akankah kita menurunkan dan membumikan kekuasaan Tuhan ke dalam realitas kehidupan? Apakah kita lupa bahwa Yang Maha Adil adalah Tuhan sendiri? Apakah mencabut dan menghilangkan hak hidup seseorang adalah jalan terkahir yang dipunyai manusia? Apakah nyawa manusia sebanding dengan beberapa kilogram narkokitka, ideologi politik atau nyawa yang sudah terlanjur tidak dapat dihidupkan kembali?
Apakah dengan demikian timbangan keadilan kita menjadi berat sebelah? Jawabnya adalah tidak. Timbangan yang berimbang adalah tujuan yang ingin dicapai, dan ia bukan hasil yang harus kita laksanakan secara murni. Tentu saja hal ini hanya berlaku untuk kasus hukuman mati. Menjadi tidak manusiawilah kita apabila mempermainkan nyawa dan hidup-matinya seseorang di dalam lambaga peradilan.

Bila kita memang seorang yang taat ajaran agama dan religius, maka sudah menjadi kewajiban kita melaksanakan ajaran-Nya. Di dalam ajaran semua agama di dunia tidak ada satu pun yang membenarkan adanya pembunuhan dan pemusnahan semua ciptaan Tuhan yang ada di bumi ini. Kita wajib melindungi dan menjaga seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya.
Hal ini membuktikan secara eksplisit, bahwa ajaran agama apapun tidak menyetujui adanya pencabutan hak hidup seseorang oleh suatu hukum, norma dan nilai-nilai yang senantiasa melingkupi hidup manusia. Mereka yang berhadapan dengan regu tembak, kursi listrik, kamar gas dan pelbagai bentuk hukuman mati lainnya merupakan korban lembaga peradilan duniawi yang diciptakan manusia sendiri.
Memang benar manusia adalah srigala bagi sesamanya (homo homini lupus) seperti yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes untuk menunjukkan agresiftitas manusia yang seringkali melebihi binatang di dalam mempertahankan hidupnya disadari maupun tidak disadarinya. Implikasinya adalah suatu tindakan yang wajar dan lumrah bagi manusia. Tetapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa manusia adalah “binatang rasional” (anima rationale). Rasio itu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dengan rasio itu pula seharusnya kita dapat menilai hidup dengan lebih bijaksana bila menghadapi masalah kemanusiaan.
Banyak alternatif cara yang dapat ditempuh untuk menggantikan hukuman mati. Gagasan  untuk mengganti hukuman mati telah banyak dilontarkan dan diajukan. Tapi yang paling utama adalah kesadaran para terhukum serta pendidikan mental dan spiritual bagi mereka menjadi penting artinya agar tidak lagi mengulangi perbuatan yang pernah dilakukannya.
Manusia adalah makhluk yang penuh dengan dinamika. Ia dapat berubah karena suatu peristiwa penting dalam hidupnya. Tetapi ia dapat pula menjadi keras kepala dengan apa yang dipercayainya. Dengan adanya pegangan hidup yang kuat, manusia tidak akan mudah terusik keadaan yang bisa membuatnya celaka dan menderita. Ia menjadi lebih realistis terhadap hidupnya tanpa perlu mengganggu hak orang lain.

Seseorang berhak membela diri untuk mempertahankan kehidupannya bila kehidupannya terancam tetapi pembunuhan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang paling fatal. Dengan pengakuan hak atas hidup, hukuman mati dalam sistim hukum kita seharusnya tidak diberlakukan lagi. Meminta diakhiri atau mengakhiri hidup (eutanasia), misalnya karena menderita penyakit yang tidak akan tersembuhkan atau sekarat, juga tidak dapat diizinkan. Pembunuhan dan hukuman mati dalam perang adalah kejahatan yang sering terjadi justru untuk melindungi manusia lain dari pembunuhan. Pada dasarnya perang itu yang harus dicegah.
















DAFTAR PUSTAKA
Drs. Tobing, Jakob, M.P.A. adalah Presiden Institut Leimena dan Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 45 (1999-2004).
Alumnus FIB dan FH UI ( http://hukum.kompasiana.com/2011/09/02/hak-hidup-manusia-390958.html)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar