Selasa, 30 April 2013

Keragaman Budaya di Indonesia dan Potensi Konflik

BAB I
PENDAHULUAN
Keanekaragaman suku bangsa yang di miliki oleh bangsa Indonesia merupakan kebanggaan yang pantas untuk mendapatkan perhatian. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budayanya yang bernilai tinggi serta keanekaragaman sifat dan coraknya, bahkan kaya akan etnik (suku bangsa). Kebudayaan mencakup kesenian-kesenian yang didukung oleh masyarakatnya. Kesenian merupakan hasil produk budaya yang dalam kehidupan sehari-hari selalu tidak pernah lepas dari masyarakat. 
Bangsa Indonesia banyak dikunjungi oleh Negara-negara lain, suku mendatang menetap dan berdomisili di wilayah yang ada di Indonesia. Dapat kita ketahui bahwa setiap kebudayaan merupakan suatu hal yang bersifat seni. Pada dasarnya di Indonesia musik tidak lepas dari kebudayaan hidup bangsa Indonesia. Dari setiap kebudayaan dari suku asli maupun suku mendatang mempunyai nilai luhur dan sebagai alat untuk memperoleh jiwa kesatuan bangsa Indonesia. 
Keanekaragaman budaya merupakan kekayaan bangsa kita, kebudayaan-kebudayaan daerah merupakan modal untuk mengembangkan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah puncak kebudayaan daerah yang ada di wilayah Indonesia. Kebudayaan nasional memiliki unsur-unsur budaya yang mendapat pengakuan dari semua bangsa, sehingga menjadi milik bangsa. Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia menghormati kelompok lain yang menjalankan kebiasaan dan adat istiadatnya, tidak menghina hasil kebudayaan suku bangsa lain, belajar dan mengembangkan berbagai jenis seni tradisional seperti seni tari, seni musik, dan seni pertunjukan dan bangga dengan hasil kebudayaan dalam negeri.

BAB II
PEMBAHASAN
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. 
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Keragaman budaya yang dimiliki Indonesia seharusnya membuat Indonesia menjadi bangsa yang berbudaya. Namun belakangan ini, Indonesia seakan lupa dengan kebanggaan budayanya yang malah terseret arus budaya asing seiring dengan era globalisasi. Budaya Indonesia menjadi tidak berkembang dan dianggap ketinggalan jaman, sehingga banyak generasi muda Indonesia yang tidak mengenal budayanya sendiri.
Dunia telah berubah, Hanya yang mengikuti perubahanlah yang mampu bertahan. Dan Semua itu hanya dapat diwujudkan melalui inovasi. Dalam rangka meningkatkan inovasi dalam Negara Indonesia maka dibentuklah Komite Inovasi Nasional (KIN). Komite yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI ini untuk membantu Presiden dalam rangka memperkuat Sistem Inovasi Nasional (SINAS), memberi masukan mengenai prioritas program dan rencana aksi dan melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan program penguatan SINAS. KIN mempunyai misi jangka panjang berkaitan dengan nilai dan budaya yaitu membangun knowledge based society.
Berkaitan dengan inovasi budaya, yang saat ini menjadi gebrakan baru dalam dunia pertelevisian adalah dengan hadirnya suatu program televisi yang merupakan pertunjukan wayang dengan konsep baru yang lebih inovatif (Opera Van Java) dan lebih dapat diterima oleh masyarakat. Inovasi tersebut membuat acara wayang yang terkesan kaku menjadi lebih menghibur masyarakat, bahkan kamu muda sekalipun. 
BAB 2.1 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEBERAGAMAN
Masyarakat Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang tersebar di lebih dari 13 ribu pulau. Setiap suku bangsa memiliki identitas sosial, politik, dan budaya yang berbeda-beda, seperti bahasa yang berbeda, adat istiadat serta tradisi, sistem kepercayaan, dan sebagainya.
Ciri keragaman kebudayaan lokal di Indonesia dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
1. Keragaman suku bangsa
Dari ilmu antropologi diketahui bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan, Cina Selatan.
Antara tahun 3.000 – 500 SM Indonesia telah dihuni oleh penduduk migran submongoloid dari Asia yang kemudian bercampur dengan penduduk indigenous/ pribumi dan indo-arian dari Asia Selatan.
Klasifikasi suku di Indonesia menurut Van Vollenhoven yang membagi Indonesia ke dalam 19 daerah suku bangsan, yaitu:
1) Aceh
2) Gayo-alas dan Batak Nias dan Batu

3) Minangkabau Mentawai 
4) Sumatra Selatan
5) Melayu
6) Bangka dan Belitung
7) Kalimantan
8) Minahasa Sangir-Talaud

9) Gorontalo
10) Toraja
11) Sulawesi Selatan
12) Ternate
13) Ambon
Kepulauan Barat Daya
14) Irian
15) Timor
16) Bali dan Lombok
17) Jawa Tengah dan Jawa Timur
18) Surakarta dan Yogyakarta
19) Jawa Barat

BAB 2.2 KEBERAGAMAN BAHASA
Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia (Australia-Asia). Gorys Keraf membagi rumpun bahasa ini ke dalam subrumpun:
1) Bahasa-bahasa Austronesia Barat atau Bahasa-bahasa Indonesia/ Melayu yang meliputi:
§ Bahasa-bahasa Hesperonesia (Indonesia Barat) yang meliputi: bahasa Minahasa, Aceh, gayo, Batak, Minangkabau, Melayu, Melayu Tengah, Lampung, Nias, Mentawai, Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Bali Sasak, Gorontalo, Toraja, Bugis-Makasar, Bima, Manggarai, Sumba, Sabu.
§ Bahasa-bahasa Indonesia Timur yang meliputi: bahasa Timor-Ambon, Sula Bacan, Halmahera Selatan-Irian Barat.
2) Bahasa-bahasa Austronesia Timur atau Polinesia yang meliputi:
§ Bahasa-bahasa Melanesia (Melanesia dan Pantai Timur Irian)
Melanesia (dari bahasa Yunani "pulau hitam") adalah sebuah wilayah yang memanjang dari Pasifik barat sampai ke Laut Arafura, utara dan timur laut Australia. 
§ Bahasa-bahasa Heonesia (Bahasa Polinesia dan Mokronesia)
3. Keberagaman religi
Indonesia memiliki keberagaman agama atau kepercayaan. Di Indonesia terdapat enam agama yang diakui secara resmi oleh negara yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. Selain itu berkembang pula kepercayaan-kepercayaan lain di massyarakat.
4. Keberagaman seni dan budaya
Suku bangsa yang beragam di Indonesia tentu menghasilkan kebudayaan yang beragam pula. Salah satu wujud itu adalah kesenian, baik seni sastra, seni tari, seni musik, seni drama, seni rupa dan sebagainya.
Manfaat Keberagaman Budaya
Keberagaman budaya memberikan manfaat bagi bangsa kita. Dalam bidang bahasa, kebudayaan daerah yang berwujud dalam bahasa daerah dapat memperkaya perbedaharaan istilah dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, dalam bidang pariwisata, potensi keberagaman budaya dapat dijadikan objek dan tujuan pariwisata di Indonesia yang bisa mendatangkan devisa. Pemikiran yang timbul dari sumber daya manusia di masing-masing daerah dapat pula dijadikan acuan bagi pembangunan nasional.
Masalah Akibat Keberagaman Budaya
Mengatur dan mengurus sejumlah orang yang sama ciri-ciri, kehendak, dan adat istiadatnya tentunya lebih mudah daripada mengurus sejumlah orang yang semuanya berbeda-beda mengenai hal-hal tersebut.
Gagasan yang menarik untuk diangkat mengatasi/ mengikis kesalahpahaman dan membangun benteng saling pengertian adalah dengan multikulturalisme dan sikap toleransi serta empati.
1) Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Didalam multikulturalisme masyarakat diminta untuk melihat dan menyikapi perbedaan, multikulturalisme juga mengajak masyarakat untuk melihat keragaman budaya dalam kacamata kesederajatan maksudnya tidak ada budaya yang lebih tinggi daripada budaya lain. Didalam multikulturalisme juga tidak boleh ada diskriminasi terhadap suatu komunitas suku bangsa tertentu karena hal itu akan menjadi benih perpecahan dan konflik. Semua suku bangsa harus diperlakukan sama dan dilibatkan dalam berbagai aspek kebangsaan baik sosial, politik, hukum, maupun pertahanan dan keamanan. Hanya dengan cara demikian seluruh potensi suku bangsa akan bahu-membahu membangun perdapan bangsanya yang lebih baik.
2) Toleransi dan empati
Sikap toleransi berarti sikap yang rela menerima dan menghargai perbedaan dengan orang atau kelompok lain.
Empati adalah sikap yang secara ikhlas mau merasakan pikiran dan perasaan orang lain.
Sikap toleran dan empati ini sangat penting ditumbuhkembangkan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.
Cara pikir seperti ini akan membawa kita pada sikap dan tindakan untuk tidak memperuncing perbedaan, tetapi mencari nilai-nilai universal yang dapat mempersatukan.
BAB 2.3 POTENSI KONFLIK DAN USAHA DALAM MENGURANGI KONFLIK ANTAR BUDAYA
"Pembantaian yang terjadi tidak bisa disederhanakan sebagai konflik antara orang Dayak dengan Madura, apalagi sebagai konflik agama. Tapi akar dari masalah ini sudah lama tercipta ketika pemerintahan Orde Baru, yang didukung oleh lembaga-lembaga hutang internasional, secara bersama-bersama menanam modal di proyek-proyek besar, yang juga menanam akar dari konflik yang terjadi sekarang ini dan juga menggambarkan situasi kemanusiaan di Indonesia secara umum” (Pernyataan NGO, Jakarta 1 Maret 2001)
Tidak diragukan bahwa akan terjadi lebih banyak konflik jika sebab-sebab di balik ketegangan di Kalimantan ini tidak diatasi. Walau stereotype budaya, atau ‘’bentrokan budaya’’ antara orang Madura dan bukan Madura sudah digunakan untuk menjelaskan kekerasan, adalah penting untuk melihat pada sebab-sebab yang lebih mendasar.
 Konfrontasi yang mengandung kekerasan antara orang Dayak dengan pemukim Madura terjadi di bawah pemerintahan jaman Presiden Sukarno, di jaman Suharto, dan juga di bawah pemerintahan Wahid. Di Kalimantan Tengah, tahun lalu, empat orang tewas dalam insiden di Kumai pada Bulan Agustus serta di Ampalit pada Bulan Desember, dan banyak harta benda termasuk rumah yang juga dibakar. Bentrokan bisa ditarik sampai pada tahun 1950-an di wilayah tetangga Kalimantan Barat. Di sini pada tahun 1996 dan awal 1997 kekerasan antara kedua kelompok menyebabkan sedikitnya 600 orang tewas (DTE 32). Sebanyak 260 orang lagi tewas pada awal 1999 (DTE 41:4). Empat tahun setelah kerusuhan tersebut, diperkirakan 40.000 pengungsi Madura hidup dalam kondisi yang menyedihkan di penampungan-penampungan sementara di ibukota propinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Penyebab utama dari konflik antara masyarakat adat dengan pemukim Madura – dan konflik-konflik lain di Indonesia - adalah ‘pembangunan’ yang dipromosikan rejim Suharto selama tiga puluh tahun lebih. Sumber-sumber daya alam, termasuk hutan dan tambang Kalimantan diberikan kepada elite bisnis yang berkuasa sebagai konsesi. Pemilik adat - masyarakat adat Dayak - secara sistematis ditolak hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam. Mereka tidak punya jalan untuk menempuh langkah hukum dalam mempertahankan hak-hak mereka karena, berdasarkan undang-undang Indonesia, hutan merupakan milik negara.
Hutan tropis diubah menjadi plywood, tripleks, dan kayu untuk dieksport atas nama pembangunan. Perusahaan-perusahaan kayu raksasa yang mengeruk keuntungan besar dari menanam modal di perkebunan, perbankan, dan perumahan, menjadi konglomerat raksasa. Kekayaan alam Kalimantan mengalir ke tangan-tangan keluarga Suharto dan rekan-rekan bisnisnya dan membantu memicu kemajuan ekonomi yang berakhir pada pertengahan 1990-an. Banyak perubahan yang terjadi di Indonesia sejak ambruknya perekonomian Asia, jatuhnya Suharto dan terpilihnya pemerintahan demokratis yang baru, namun model kesejahteraan ekonomi yang diarahkan pada eksploitasi habis-habisan sumber daya alam masih tetap saja. Berdasarkan undang-undang otonomi regional yang baru, wilayah-wilayah harus mendapatkan pemasukan yang cukup dari sumber daya alam di bawah kendali mereka untuk membiayai layanan publik, mendukung birokrasi, dan memberikan keuntungan kepada elite setempat serta mengirimkan bagian keuntungan ke Jakarta.
Komunitas internasional mendukung proses ini. ‘Paket penyelamatan ekonomi’ IMF mendorong eksport kayu, tambang, dan hasil perkebunan seperti minyak kelapa sawit untuk menyeimbangkan neraca ekonomi Indonesia. Ini termasuk membayar hutang kepada kreditur internasional yang senang meminjamkan pada masa Suharto. Bank Dunia mendanai program transmigrasi pemerintah Indonesia selama bertahun-tahun dan dengan Bank Pembangunan Asia mendukung sistem tanaman industri yang tergantung pada pekerja transmigran. Menurut angka Bank Dunia, selama tahun 1980-1985 (ketika dukungan Bank Dunia terhadap transmigrasi tinggi) 109.800 transmigran yang disponsori pemerintah bermukim di Kalimantan Tengah , dan di sana jumlah ini mencerminkan 65% dari pertumbuhan penduduk di sana. Angka-angka pemerintah tentang transmigrasi ke Kalimantan Tengah selama tahun 1969-1998 adalah 117.380 keluaraga atau sekitar 5,9 juta jiwa. Angka total untuk Kalimantan adalah 426.446 keluarga dan angka total nasional adalah 1,9 juta keluarga. Sepanjang tahun-tahun belakangan ini transmigrasi ke Kalimantan Tengah terpusat pada bencana proyek raksasa di Kalimantan Tengah yang ditujukan untuk mengubah satu juta hektar lahan gambut menjadi lahan pertanian PADI (DTE 38).
Dalam pernyataan pada bulan Maret, LSM Indonesia menuntut agar lembaga-lembaga seperti Bank Dunia “mengakui kegagalan dan kesalahan mereka kepada orang-orang yang terkena ledakan kerusuhan” dan “memberlakukan rehabilitasi dan peningkatan yang tidak pernah dilaksanakan.” Mereka juga menuntut agar Bank Dunia, IMF dan ADB, serta perusahan-perusahaan raksasa lebih terbuka pertanggung-jawabannya “untuk mencegah terulangnya tragedi kemanusiaan yang SIA-SIA.”
Usaha dalam Mengurangi Konflik antar Budaya
            Sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan strategi untuk mengurangi konflik antarbudaya, berikut ini ada beberapa teknik, kiat dan falsafah yang dapat membantu pengembangan sikap dan keterampilan berkomunikasi, yaitu:
Mengenali diri sendiri Intinya mengidentifikasi sikap, nilai, pendapat, kecenderungan diri sendiri, dan mengetahui citra diri yang dipersepsikan orang lain. Dengan demikian dapat menentukan apa saja yang dikatakan, juga apa yang didengar dari orang lain katakan.
Menggunakan kode yang sama karena makna terletak pada orang dan bukan pada kata-kata, maka untuk meningkatkan komunikasi, seseorang harus mengetahui kode khusus yang digunakan orang lain atau kelompok-kelompok tertentu.
Jangan terburu-buru ada dua hal yang dapat dilakukan yaitu menunda penilaian dengan tidak terlalu cepat dalam menarik kesimpulan sebelum orang lain menyatakan seluruh pikiran dan perasaannya, dan memberi waktu yang cukup pada orang lain untuk mencapai tujuan pembicaraannya.
Memperhitungkan lingkungan fisik dan manusia menyadari lingkungan atau konteks tempat dimana peristiwa komunikasi terjadi. Dengan memperhatikan lingkungan fisik, akan menyadari maknamakna yang dilekatkan oleh macam-macam kebudayaan pada simbol-simbol yang ada, yang berpengaruh pada sikap dan perilaku orang-orang di sekitarnya.
Meningkatkan keterampilan berkomunikasi hal-hal yang berkaitan dengan kelancaran proses penyampaian dan penerimaan pesan, seharusnya diperhatikan berdasar pada dampak yang mungkin timbul akibat dari proses tersebut. Karenanya pemilihan topik dan gaya penyampaian pesan perlu disesuaikan dengan siapa berkomunikasi.
Mendorong umpan balik idealnya dalam sebuah proses komunikasi, bisa mendorong terlaksananya umpan balik. Memahami kuantitas dan kualitas umpan balik berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.
Mengembangkan empati ketidakmampuan untuk memahami dan menghargai pandangan dan orientasi orang lain sering kali menghambat komunikasi yang efektif. Oleh karena itu sebaiknya menerima adanya perbedaan dan berusaha untuk menempatkan diri pada posisi orang yang diajak berkomunikasi.
Mencari persamaan-persamaan di antara kebudayaan-kebudayaan berbeda meskipun diharuskan untuk memahami adanya perbedaan-perbedaan latar belakang sosial budaya yang memengaruhi komunikasi, tetapi dalam banyak hal ternyata persamaan-persamaanlah yang memungkinkan seseorang untuk menjalin hubungan.

BAB III
PENUTUP & KESIMPULAN
BAB 3.1 PENUTUP
            Demikian pembahasan saya tentang Keragaman Kebudayaan di Indonesia dan Potensi Konflik. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penulisan kata-kata mohon dimaafkan.
BAB 3.2 KESIMPULAN
1.      Keanekaragaman budaya merupakan kekayaan bangsa kita. Kebudayaan- kebudayaan daerah merupakan modal utama untuk mengembangkan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah yang ada di wilayah Indonesia.
2.      Daerah asal dari kebudayaan Minangkabau kira- kira seluas daerah provinsi sumatera barat sekarang ini, dengan dikurangi daerah kepulauan mentawai, tetapi dalam pandangan orang Minangkabau sendiri, daerah ini dibagi lagi ke bagian- bagian khusus. Pembagian- pembagian khusus itu menyatakan pertentangan antara darek(darat) dan pasisie (pesisir) atau rantau. Ada anggapan bahwa orang- orang yang berdiam di pesisir, berasal dari darat.
3.      Daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Sungguhpun demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini,  daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan ujung timur.


Senin, 01 April 2013

Hak Untuk Hidup Pasal 28 A


PENDAHULUAN

Hak untuk hidup tercantum sebagai salah satu hak asasi pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 setelah amandemen.
Pasal 28A menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Pasal 28B ayat (2) menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah satu dari tujuh hak asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).
Selaras dengan dasar negara Pancasila, maka dalam negara Indonesia, manusia, siapapun dia, adalah mahluk yang hakekat dan martabatnya harus dihormati.
Berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan, UUD 1945 setelah perubahan mengakui dan menghormati bahwa hak-hak asasi manusia bukanlah pemberian negara tetapi melekat (inherent) dalam keberadaan manusia. Di dalam UUD 1945 yang lama, hanya ada satu hak asasi yang diakui sebagaimana tertera dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu hak tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan hak-hak lain, seperti kemerdekaan berserikat dan berkumpul dan lain-lain, sebenarnya belum tergolong hak asasi manusia, melainkan hak warga negara atau the citizen’s constitutional rights. Hak demikian itu hanya ada bila undang-undang menyatakannya ada.

PEMBAHASAN
Pengakuan hak untuk hidup itu amat sentral dalam seluruh peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Keberadaan bangsa dan negara pertama-tama harus mengakui harkat dan martabat keberadaan manusia. 
Prinsip rule of law, yaitu sistem dan praktek pemerintahan wajib melindungi warga dari kesewenangan kekuasaan dan melindungi warga dan hak-miliknya dari kesewenangan sesama warga, merupakan konsekuensi dari pengakuan atas hak hidup, mempertahankan kehidupan dan mengembangkan kehidupan. Tujuan bernegara yang hendak dicapai juga adalah berintikan peningkatan kualitas hidup sebagai penghormatan atas kehidupan manusia.
Hak asasi ini berhubungan langsung dengan masalah aborsi, hukuman mati, eutanasia, membela diri, pembunuhan dan perang. Karena hak hidup, termasuk hak untuk hidup dan berkembang, diakui, maka aborsi pada dasarnya tidak dapat diizinkan. Hanya dalam keadaan yang sangat membahayakan nyawa sang ibu, yang disimpulkan ahli yang kompeten, aborsi dapat dilakukan.
Bila kita berbicara tentang hak asasi manusia tentunya harus dikaitkan dengan hak hidup manusia sebagai hak yang paling mendasar. Hak itu bukan pemberian penguasa negara ataupun manusia lainnya. Manusia tidak dapat menciptakan hidup atau nyawanya sendiri melalui rekayasa teknologi kedokteran. Sang Khaliklah (baca: Tuhan) yang memberi kita hidup dan nyawa. Dengan demikian hak itu dapat kita katakan sebagai hak yang paling asasi dan mendasar yang dipunyai umat manusia. Amerika Serikat pun sebagai negara adi daya yang mengagung-agungkan hak asai manusia di dalam kenyataannya masih memberlakukan hukuman mati di beberapa negara bagiannya bagi para pelaku kriminal.
Akan tetapi menjunjung tinggi hak hidup seorang manusia tidaklah semudah yang kita bayangkan. Persoalan dilematis menghadang di depan kita. Di satu pihak keinginan dan hasrat yang timbul dari hati nurani untuk menghapus hukuman mati berhadapan dengan konsistensi menjunjung keadilan yang seadil-adilnya di pihak lain. Keperkasaan pelembagaan keadilan telah menenggelamkan keinginan dan hasrat tersebut. Manusia harus menerima konsekuensi perkembangan peradabannya bila tidak ingin menapak mundur dari modernisasi yang semakin menyusup ke segi kehidupannya.
Kita tidak menyadari atau mungkin sadar tetapi takut berkata benar, bahwa konsepsi keadilan yang dipegang teguh selama ini tidaklah seratus persen dapat kita realisasikan di dalam kenyataan hidup sehari-hari. Keadilan mempunyai batasannya tersendiri kala ia sudah mencapai titik di mana keterlibatan manusia dipertanyakan. Simbol keadilan yang ditnjukkan dengan sebuah timbangan yang seimbang ternyata bukanlah benda mati, karena Dewi Keadilan tertutup matanya. Seimbang atu tidaknya timbangan keadilan ditentukan oleh para pelakunya (manusia).
Konsep keadilan yang hakiki tidak dapat kita ejawantahkan secara zhakelijk dan ajek ke dalam kehidupan nyata. Bila hal itu terjadi, maka yang kemudian terjadi adalah penggerusan kemanusiawian kita. Lembaga peradilan tidak lebih dari sekedar pelembagaan “balas dendam”. Hutang nyawa dibayar dengan nyawa, dan hutang darah dibayar dengan darah.
Tugas lembaga peradilan bukan sekedar menyampaikan pesan keadilan, tetapi juga semangat kemanusiaan dan ketuhanan manusia. Hukuman yang mencabut hak seseorang atau hukuman mati tidak dapat kita bandingkan dengan hukum, norma, dan nilai-nilai yang malah memiskinkan toleransi kemanusiawian kita. Bahkan kalau kita menelaah lebih kritis lagi terlihat sikap tidak adil di dalam lembaga peradilan. Hukuman mati sebagai konsepsi keadilan yang hakiki dan dipegang teguh lembaga peradilan, tidak lagi bersangkutan dengan masalah kehidupan. Dalam hal ini berarti kita telah memasuki alam kehidupan dan kematian seseorang yang kekuasaan sepenuhnya dipegang Tuhan. Akankah kita menurunkan dan membumikan kekuasaan Tuhan ke dalam realitas kehidupan? Apakah kita lupa bahwa Yang Maha Adil adalah Tuhan sendiri? Apakah mencabut dan menghilangkan hak hidup seseorang adalah jalan terkahir yang dipunyai manusia? Apakah nyawa manusia sebanding dengan beberapa kilogram narkokitka, ideologi politik atau nyawa yang sudah terlanjur tidak dapat dihidupkan kembali?
Apakah dengan demikian timbangan keadilan kita menjadi berat sebelah? Jawabnya adalah tidak. Timbangan yang berimbang adalah tujuan yang ingin dicapai, dan ia bukan hasil yang harus kita laksanakan secara murni. Tentu saja hal ini hanya berlaku untuk kasus hukuman mati. Menjadi tidak manusiawilah kita apabila mempermainkan nyawa dan hidup-matinya seseorang di dalam lambaga peradilan.

Bila kita memang seorang yang taat ajaran agama dan religius, maka sudah menjadi kewajiban kita melaksanakan ajaran-Nya. Di dalam ajaran semua agama di dunia tidak ada satu pun yang membenarkan adanya pembunuhan dan pemusnahan semua ciptaan Tuhan yang ada di bumi ini. Kita wajib melindungi dan menjaga seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya.
Hal ini membuktikan secara eksplisit, bahwa ajaran agama apapun tidak menyetujui adanya pencabutan hak hidup seseorang oleh suatu hukum, norma dan nilai-nilai yang senantiasa melingkupi hidup manusia. Mereka yang berhadapan dengan regu tembak, kursi listrik, kamar gas dan pelbagai bentuk hukuman mati lainnya merupakan korban lembaga peradilan duniawi yang diciptakan manusia sendiri.
Memang benar manusia adalah srigala bagi sesamanya (homo homini lupus) seperti yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes untuk menunjukkan agresiftitas manusia yang seringkali melebihi binatang di dalam mempertahankan hidupnya disadari maupun tidak disadarinya. Implikasinya adalah suatu tindakan yang wajar dan lumrah bagi manusia. Tetapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa manusia adalah “binatang rasional” (anima rationale). Rasio itu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dengan rasio itu pula seharusnya kita dapat menilai hidup dengan lebih bijaksana bila menghadapi masalah kemanusiaan.
Banyak alternatif cara yang dapat ditempuh untuk menggantikan hukuman mati. Gagasan  untuk mengganti hukuman mati telah banyak dilontarkan dan diajukan. Tapi yang paling utama adalah kesadaran para terhukum serta pendidikan mental dan spiritual bagi mereka menjadi penting artinya agar tidak lagi mengulangi perbuatan yang pernah dilakukannya.
Manusia adalah makhluk yang penuh dengan dinamika. Ia dapat berubah karena suatu peristiwa penting dalam hidupnya. Tetapi ia dapat pula menjadi keras kepala dengan apa yang dipercayainya. Dengan adanya pegangan hidup yang kuat, manusia tidak akan mudah terusik keadaan yang bisa membuatnya celaka dan menderita. Ia menjadi lebih realistis terhadap hidupnya tanpa perlu mengganggu hak orang lain.

Seseorang berhak membela diri untuk mempertahankan kehidupannya bila kehidupannya terancam tetapi pembunuhan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang paling fatal. Dengan pengakuan hak atas hidup, hukuman mati dalam sistim hukum kita seharusnya tidak diberlakukan lagi. Meminta diakhiri atau mengakhiri hidup (eutanasia), misalnya karena menderita penyakit yang tidak akan tersembuhkan atau sekarat, juga tidak dapat diizinkan. Pembunuhan dan hukuman mati dalam perang adalah kejahatan yang sering terjadi justru untuk melindungi manusia lain dari pembunuhan. Pada dasarnya perang itu yang harus dicegah.
















DAFTAR PUSTAKA
Drs. Tobing, Jakob, M.P.A. adalah Presiden Institut Leimena dan Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 45 (1999-2004).
Alumnus FIB dan FH UI ( http://hukum.kompasiana.com/2011/09/02/hak-hidup-manusia-390958.html)